solusi sehat

Produk Ace Max's

Sabtu, 04 Mei 2013

Keutamaan menuntut Ilmu Agama

1. Keutamaan Menyebarkan Ilmu  Agama

Bismillahir rahmanir rahim.......

Dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ »

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang mempelajari ilmu agama[2] yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menyebarkannya kepada umat manusia[3]. Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui setelah (tingkatan) kenabian, kedudukan yang lebih utama dari menyebarkan ilmu (agama)”[4].

Dalam hadist lain yang semakna dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memahami ilmu (agama dan mengajarkannya kepada manusia) akan selalu dimohonkan (kepada Allah Ta’ala) pengampunan (dosa-dosanya) oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan”[5].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemuliaan dan keberkahan dari-Nya[6]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:

{هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}

“Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Ahzaab:43)[7].

- Orang yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia berarti telah menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab utama terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena itu semua makhluk di alam semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan kebaikan baginya, sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan perbuatannya[8].

- Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk untuknya[9].

- Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi[10].

- Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[11], karena merekalah yang menggantikan tugas para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam[12].

- Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh (berperang melawan orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke leher musuh banyak orang yang (mampu) melakukannya, sedangkan menyampaikan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia hanya (mampu) dilakukan oleh (para ulama) pewaris para Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya”[13].

2. Keutamaan Menuntut Ilmu Agama
Bismillahir rahmanir rahim......
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ .

Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).” [1]

Hadits yang mulia ini menunjukkan agungnya kedudukan ilmu agama dan keutamaan yang besar bagi orang yang mempelajarinya, sehingga Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyadhush Shalihin [2], pada pembahasan “Keutamaan Ilmu” mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama.

Imam an-Nawawi berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu (agama) dan keutamaan mempelajarinya, serta anjuran untuk menuntut ilmu.” [3]

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalaani berkata: “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang jelas tentang keutamaan orang-orang yang berilmu di atas semua manusia, dan keutamaan mempelajari ilmu agama di atas ilmu-ilmu lainnya.” [4]

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini adalah:

Ilmu yang disebutkan keutamaannya dan dipuji oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah ilmu agama. [5]

Salah satu ciri utama orang yang akan mendapatkan taufik dan kebaikan dari Allah Ta’ala adalah dengan orang tersebut berusaha mempelajari dan memahami petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam. [6]

Orang yang tidak memiliki keinginan untuk mempelajari ilmu agama akan terhalangi untuk mendapatkan kebaikan dari Allah Ta’ala. [7]

Yang dimaksud dengan pemahaman agama dalam hadits ini adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang mewariskan amalan shaleh, karena ilmu yang tidak dibarengi dengan amalan shaleh bukanlah merupakan ciri kebaikan. [8]

Memahami petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar merupakan penuntun bagi manusia untuk mencapai derajat takwa kepada Allah Ta’ala. [9]

Pemahaman yang benar tentang agama Islam hanyalah bersumber dari Allah semata, oleh karena itu hendaknya seorang muslim disamping giat menuntut ilmu, selalu berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala agar dianugerahkan pemahaman yang benar dalam agama. [10]

Di zaman dahulu ada seseorang yang lehernya cacat, dan ia selalu menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.” Sejak itulah, orang itu belajar ilmu syar’i hingga ia menjadi orang alim, sehingga ia diangkat menjadi Qadhi (Hakim) di Makkah selama 20 (dua puluh) tahun. Apabila ada orang yang berperkara duduk di hadapannya, maka gemetarlah tubuhnya hingga ia berdiri. [al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 220-221)]

Imam Ahmad, beliau selalu membawa kertas dan pena-nya, kadang kala beliau mengajar, kadang pula belajar. Beliau adalah sosok yang ‘alim, tetapi masih menyempatkan diri untuk belajar pada orang lain. Pada suatu hari beliau membawa barang kebutuhannya, kemudian dikatakan : “Wahai Abu Abdillah, sampai kapankah engkau menuntut ilmu ?” Beliau menjawab : “Menuntut ilmu itu dari buaian sampai masuk ke liang lahat (beliau mengulanginya dua kali)”. [Nasehat Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Hafizhahullah]

Menuntut ilmu tak kenal usia, teruslah menjadi pembelajar dimanapun dan kapanpun serta amalkanlah dan sampaikanlah.
__________

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Dipublikasikan oleh Ustadz Abu Hasan
Artikel www.muslim.or.id


Catatan Kaki:

[1] HR at-Tirmidzi (no. 2685) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 7912), dalam sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan oleh hadits lain yang semakna. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (4/467).
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/525).

[3] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/63).

[4] Dinukil oleh imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Bagdad” (10/160).

[5] HR Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani rahimahkumullah, serta dinyatakan hasan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/63).

[6] Lihat kitab “Zaadul masiir” (6/398).

[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (6/169).

[8] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64) dan al-Muanawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (4/268).

[9] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/268).

[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/525).

[11] Sebagaimana dalam HR Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani rahimahkumullah.

[12] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64).

[13] Kitab “Jala-ul afhaam” (hal. 415)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar